Pagi pun tiba, hari baru cerita baru
dan saya telah berada di terminal keberangkatan bandara Sultan Hasanuddin untuk
melakukan penerbangan tujuan bandara Mutiara, Palu. Sesak terasa meninggalkan
semua teman dan kegiatan yang menanti selepas saya pergi. Tetapi semesta
berkonspirasi menyeret tubuh ini melewati awan dan lautan kemudian segera
menginjakkan kaki ditengah Sulawesi, yang ditempuh selama 1 jam dari Makassar.
Tempat baru Petualangan baru, mencoba
positif thinking dan sedikit menghibur diri. Kedatangan saya ke Sulawesi Tengah
bukan untuk liburan (sebenarnya) tapi untuk bekerja. Saya mendapat panggilan
kerja di kabupaten Parigi Moutong, yang ditempuh selama 2 jam dari Palu ibukota
Sulteng. Tiba di Parigi ibukota Parigi Moutong, saya langsung ingin pulang
karena harapan tak sesuai dengan realita. “ini mah desa, duh bisa dapat apa
disini” bisikku dalam hati. Terang saja, bayangan kota yang ada dalam pikiranku
sama sekali tidak terlihat, yang ada justru hamparan sawah yang luas mengapit
jalan poros trans Sulawesi, jalanannya sepi khas jalan antar daerah, tapi setidaknya
terbebas dari kemacetan kota di tempat
saya dulu, Namun tetap saja hati saya sendu.
Hari berganti, tak terasa sudah 3
minggu berada di Parigi, punya teman meskipun hanya teman kantor namun mereka
tak suka berolahraga atau sekedar jogging ke alun-alun ataupun melakukan
kegiatan outdoor yang saya gemari. Merasa sendiri di kota orang menuntut saya
harus bisa mengusir sepi yang datang, alhasil 3 minggu pertama saya habiskan
dengan membaca buku atau menonton film, itu jurus jitu pengusir sepi sih.haha
Minggu keempat, saya sudah mulai
bosan dengan rutinitas yang tak kunjung berubah, akhirnya saya mencoba jogging
ke alun-alun namun tetap saja nalar saya masih membandingkan keadaan sekarang
dan dahulu. Di kota tempat saya jogging dulu track larinya bagus dikelilingi pohon-pohon
yang tidak akan membuatmu panas kena sinar matahari, bertemu teman-teman, belum
lagi cuci mata karena para lelaki kece yang ikutan jogging, Bandingkan dengan
tempat jogging saya sekarang dipinggir jalan, jogging sendiri, panas kena
sengatan matahari, Tapi tetap saja saya harus membiasakan diri berdiri tanpa
bergantung pada orang lain itulah satu tahap kehidupan yang harus dilalui semua
orang dewasa. Terima, nikmati, lalui dan bersyukur. Tak terasa sudah 3 bulan
saya berada disana.
Bulan ketiga, memasuki bulan Agustus
tiba-tiba om saya mengajak untuk ikut beliau ke desa lain dalam rangka
peresmian sebuah tugu, ajakan om langsung saya terima saat itu juga meskipun
tidak mengerti tujuan kesana. Perjalanan ke desa itu ditempuh sekitar 5 jam
dari Parigi, lumayan membuat saya pusing dengan sedikit berkelok-kelok tapi
didominasi jalan yang lurus kok, Cuma saya memang mabok darat. Hhaa
Akhirnya tiba dengan selamat sampai
di desa Tinombo, istirahat sejenak, makan dan menuju pulang. Saya sempat
bingung, namun ternyata tadi saya ketiduran pas mobil kami melewati tugu tempat
tujuan kami. Tugu itu terletak sebelum Tinombo tepatnya di desa Khatulistiwa,
karena kurangnya penginapan disana maka kami terpaksa beristirahat di Tinombo
yang letaknya ditempuh 45 menit setelah desa itu.
Sampai di desa Khatulistiwa, tugunya
masih dibungkus dengan kain menanti kedatangan menteri yang meresmikan dan
menanggalkan kain penutupnya. Acara peresmian tugu itu dirangkaikan dengan
perkemahan pramuka yang diikuti oleh seluruh SMA se-Parigi Moutong. Tiba dipuncak
acara Menteri yang ditunggu pun tiba, saya masih penasaran dengan tugu itu,
“tugu apasih itu? Sampai harus tunggu seorang menteri dulu”ketusku, sesaat pembawa acara kemudian berkata “kita hitung
mundur untuk peresmian tugu khatulistiwa ini, 4 3 2 1, tugu khatulistiwa telah
diresmikan oleh bapak menpora Roy Suryo” segenap tepuk tangan riuh bergemuruh
oleh ratusan orang yang berkumpul disitu. Hal ini sangat bertolak belakang
dengan realita yang saya dapatkan ketika menonton pertandingan AcMilan Glorie
di stadion GBK, Jakarta. Ketika itu pembawa acara mendengungkan nama menpora,
serentak stadion bergemuruh mengejek sang menteri, bukan tepuk tangan melainkan
gemuruh suara huu dan jempol yang dibalik kebawah, maka kali ini saya hanya
tersenyum saja. Realita ini, mengajarkan saya bahwa tidak semua orang bisa
menerimamu meskipun kamu telah berbuat baik menurut takaranmu. Kita hanya perlu
melakukan apa yang terbaik buat diri kita, tepuk tangan dan cibiran hanya
menjadi hiasan saja, yang penting kita meninggalkan dampak yang berguna bagi
orang lain. (seloroh hati)
Terlepas dari pembelajaran seorang menteri,
saya cukup kaget ternyata daerah yang
tidak pernah masuk dalam daftar tempat yang ingin saya kunjungi, dilewati oleh garis
Khatulistiwa sang equator, sekedar informasi sang equator ini hanya melewati
beberapa wilayah di dunia, di Indonesia sendiri hanya melewati beberapa daerah
saja salah satunya di desa Khatulistiwa, Parigi Moutong yang merupakan
satu-satunya daerah di pulau Sulawesi yang tepat dilewati sang equator ini. Konon
katanya jika kita meletakkan telur dipusat tugu ini maka posisi telur bisa
tegak lurus, dan lagi jika kita berdiri
di dekat tugu itu maka bayangan kita tidak kelihatan, tetapi semua itu bisa
terjadi saat matahari benar-benar berada satu garis lurus diatas permukaan
bumi. Selain itu, mengutip kalimat pak Roy Suryo bahwa masyarakat yang berada
dibawah garis khatulistiwa lebih mudah mengakses informasi karena lebih dekat
36 ribu km dari garis khatulistiwa yang merupakan letak objek stasioner. Suatu kebetulan
yang tidak biasa berada tepat dibawah Zamrud khatulistiwa. Maka tanpa pikir
panjang besoknya saya mengabadikan tugu titik nol itu, kemudian nalar saya pun
bertanya jika suatu tempat bisa dilewati garis khatulistiwa maka flora, fauna dan
pesona alam yang tumbuh dan hidup disana pastilah tidak biasa juga.
Hmm, ini
baru bagian pertama petualanganku disini selanjutnya ada di surga kecil di
tengah Sulawesi bagian kedua. Ciao..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar